Dialog Tentang Sebongkah Hati


Aku berjalan hari itu. Di masa yang sama, menuju tempat yang sama. Namun ada yang tampak berbeda; seorang gadis sedang memunggungiku, dengan rambut panjang yang sia-sia ia ikat karena masih tampak helai-helainya yang bergerak-gerak lesu. Mungkin tertiup angin, atau sekadar mengikuti gemulai gerak pemiliknya meski tak ingin.
Aku mendekat. Merasa mengenal, tapi di saat yang sama merasa tak kenal. Merasa dekat, tapi seolah ada jarak yang mencegat. Gadis di hadapanku kini tak lagi bergerak. Masih berdiri memandang ke depan dengan ekspresi—yang anehnya aku tahu—sedih di wajahnya.
Gadis itu menoleh kepadaku. Semai senyum ranumnya menghiasi. Ya, dia tersenyum! Apa kesedihannya tadi hanya citraannya belaka? Atau aku yang salah mengira? 
“Wahai.. Kau datang,” ucapnya sambil mencoba merapikan helaian rambutnya yang belum terikat. Tampak gugup dan malu-malu. Lucu juga melihatnya yang seperti itu. Namun, aku tak tertawa. Justru aku mencoba menerjemahkan apa yang kulihat dari dirinya.
Dia, berparas manis. Tingginya jauh dibandingkan aku. Tapi ia sepadan jika dijajarakan dengan gadis kebanyakan. Tak begitu banyak memakai riasan. Dia pun hanya mengenakai pakaian sederhana yang cukup indah dipandang mata.
Lalu, bagaimana dengan hatinya? Aku mencoba menelusuri lagi. Menerjemahkan lebih dalam lagi. Tapi... Aku tak bisa menerjemahkannya. Hatinya, ke mana hatinya?
Seakan memahami kebingunanku dia berkata,
“Lihatlah! Itu hatiku. Kutaruh di sana.”
Aku luaskan pandangan. Tak ada apa-apa selain kehampaan. Tapi memang ada sebongkah hati yang sahaja berdiri. Itukah hatinya? Hati itu begitu rapuh. Hati itu begitu bersedih. Berpeluh, compang-camping, penuh luka, dan air mata. Tapi ia memaksa untuk terlihat kuat dan ceria meski itu sepenuhnya sia-sia. Sungguh keajaiban hati itu masih bisa berdiri. Bahkan di atas kehampaan ia masih berusaha menari-nari.
Aku pun tergelitik untuk bertanya, 
 “Mengapa ia seperti itu?”
Sang gadis tak langsung menjawab. Ia berpaling, melihat hatinya dengan senyuman miris. Ada kegetiran menyusul keheningan yang tercipta di sana. Sedangkan hening semakin membuat rasa penasaranku berlipat ganda. Sampai akhirnya, ia pun bersuara.
“Hmm.. Aku sudah berusaha menjaganya, membuatnya tetap bertahan. Kugunakan segala siasat licik untuk membuatnya tetap hidup. Membuatnya kuat. Kukatakan, ‘Tunggulah. Tunggulah sebentar lagi. Engkau akan berbalas. Sungguh, engkau akan berbalas’. Tapi akhirnya dia tahu, aku hanya membohongi dirinya. Membohongi hatiku sendiri.”
Tanpa kuminta, sekumpulan pertanyaan berdesakan di benakku. Apa maksudnya? Berbalas apa? Membohongi bagaimana? Tapi pertanyaan-pertanyaam itu tak pernah sampai. Justru pertanyaan bernada ‘menyalahkannya’-lah yang keluar.
“Untuk apa kau melakukannya?”
“Agar orang itu melihatnya. Melihatnya sebentar saja. Aku ingin orang itu tahu, bagaimana kugunakan hatiku hanya untuk mencintainya. Hanya untuk membuatnya bahagia dengan tak mengusiknya.”
Aneh! Sungguh aneh! Orang macam apa yang mau membuat hatinya seperti itu hanya untuk “dilihat” sebentar saja. Kenapa tak antarkan saja hati itu jika memang sangat ingin. Sambil diberi pita, taburan bunga, atau hiasan beraneka warna. Jika tidak, biarkan saja hati itu mati. Bukankah itu lebih manusiawi?
“Tapi, bukankah lebih baik kalau kau membiarkannya? Dia sudah lelah. Bahkan dia sekarat,” ucapku dengan nada memburu.
Tatapan sang gadis kembali terarah kepadaku. Entah kenapa kesedihan yang awalnya kukira hanya citraan kini tampak jelas di wajah itu. Ternyata benar, dia bersedih. Kesedihan yang aliran sendunya mampu meraihku. Kesedihan yang pancaran getirnya mampu menyentuhku. Matanya berkaca, memantulkan jejak wajahku yang balik menatapnya.
“Begitukah? Lantas, maukah kau membunuhnya?” Bibirnya bergetar ketika pertanyaan itu terucap. Pertanyaan yang begitu dingin. Bernada menantang dan kepasrahan di saat bersamaan. Seolah meminta, tapi sebenarnya memaksaku untuk melakukannya. Jadi, haruskah aku melakukannya? Kenapa aku harus membunuhnya?
“Ke..kenapa harus dibunuh? Kau diamkan saja dia. Dia.. mungkin.. akan menghilang dengan sendirinya,” terbata-bata kubertanya kepadanya.  
“Dia tak akan menghilang begitu saja. Aku sudah membuatnya ada, bahkan saat aku tak mengerti alasan mengapa dia harus ada. Aku sudah menjaganya, melebihi batasan-batasan yang membuatku bahagia. Satu-satunya cara, adalah membunuhnya... ,” ucap gadis itu dengan mantap, seolah seumur hidupnya ia habiskan untuk berlatih mengucapkan kalimat-kalimat itu.
Keningku mengerut. Baiklah! Jika ingin membunuh hatinya, mengapa tidak melakukannya sendiri? Mengapa menyuruhku melakukannya? Bukankah ini urusannya? Mengapa harus aku?
“... dan kau pikir, aku akan sanggup melakukannya?” sambung gadis itu persis saat aku akan membukan mulut untuk bertanya.
Memang benar. Tidak akan ada orang yang tega memusnahkan sesuatu yang begitu berarti bagi dirinya. Apalagi sesuatu itu adalah bagian dirinya sendiri yang sudah ia jaga dengan sekuat tenaga. Batinku bergemuruh. Antara memoloskan ‘permintaan’ gadis itu atau melenggang sembari mencari satu-dua alasan. Namun, pikiranku buntu. Entah kenapa.
Kulihat lagi hati itu. Sekarang ia sudah berhenti menari. Dengan anggun ia merebah. Sedetik ia tampak pasrah. Dia seakan mempersilahkanku untuk menghujamnya dengan belati ketegasan yang entah bagaimana kini ada di tanganku. Luka-lukanya seakan membujuk untuk segera mengakhiri segala. Dan bujukan itu, aku tak mampu menolaknya.     
“Baiklah. Kalau begitu aku yang akan melakukannya ...”
. . .
Entah dengan perasaan apa aku melakukannya. Tapi kini hati itu benar-benar menghilang dari kehampaan. Aku pun kembali kepada gadis itu. Menatapnya lama, lebih lama dari yang pernah aku lakukan pada gadis mana pun. Tiba-tiba aku sadar, ternyata aku jauh lebih mengenalnya dari yang kukira. Bahkan, aku telah mengenalnya jauh sebelum kami berjumpa. Hanya saja aliran waktu di sekitaranku terlalu lambat. Itulah yang membuatku terlambat menyadari bahwa kami adalah dekat.
“Terima kasih,” ucap gadis itu dengan nada cerah. Senyumnya sempurna membuatku merasa bersalah. Setegar itukah dia menerima? Padahal hatinya baru saja tiada.
Kualihkan pandanganku, mencoba menekan rasa bersalah yang ada. Untuk apa aku merasa bersalah atau iba? Bukankah dia yang sendiri yang memintaku melakukannya?! Dia yang memaksaku! Lagi pula, jika memang mau membenci, bukankah seharusnya dia membenci dirinya sendiri yang tak berdaya? Atau, membenci lelaki yang dicintainya?! Benar! Dia seharusnya membenci lelaki itu! Lelaki bodoh yang tak bisa menyadari bahwa ada sebohkah hati yang dengan sekuat tenaga menunggunya. Menunggu dan terus menunggu dengan harapan dia akan sekadar melihatnya. Hanya sekadar melihat!
“Orang itu, yang katanya ingin kau perlihatkan hatimu, siapa dia?”
Dia tersenyum. Tatapannya semakin lembut ketika menjawab,
“Kau ... ”
Aku tercekat. Aliran waktu sungguh membuat segala pemahamanku terlambat.


Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEWI ARUM SARI

BAHASA INDONESIA KELAS X MATERI DEBAT

Guru Bukan Dewa, Tapi Juga Bukan Sembarang Manusia