SURAT KODE 301




“Rabu, 25 Februari 2053. Surat kode 301. Lokasi terlacak. Bumi bagian equator. 52, 998, 413. Atas nama, Sofia. Memulai untuk merekam...”
***
Minggu, 25 Januari 2015.
            Bel berbunyi. Kutinggalkan keasikanku menonton televisi. Siapa yang bertamu siang-siang begini? Pintu kubuka.Wajah seorang pria terlihat di sana.
            “Permisi. Benar ini rumah nona Sofia?”
            “Iya. Itu saya.” 
            “Saya seorang pengantar surat. Anda mendapatkan surat.”
            “Surat? Dari siapa?”
            “Nanti Anda akan tahu. Silahkan diterima.”
            Kuterima surat itu. Hanya amplop kecil berwarna putih dengan tulisan “Surat Kode 301” untuk Sofia. Hanya itu. Kuberalih pada pria itu dan kembali bertanya surat ini dari siapa? Tapi dia telah pergi. Menghilang.
            Kututup pintu. Amplop itu kubolak-balikkan. Tapi tetap tak kutemukan nama pengirimnya. Layanan pos macam apa ini? Aku menggerutu. Kubuka amplop itu. Sebuah kertas terselip disana.
Kode                : 301
Kepada            : Nona Sofia.
Alamat            : Bumi bagian equator.
Perihal            : Pemberitahuan ancaman pembunuhan.
            Hah? Ancaman pembunuhan? Siapa yang iseng membuat lelucon seperti ini? Aku abaikan “surat” aneh itu. Menuju kamar, melanjutkan menonton televisi. Tiba-tiba, bel kembali berbunyi. Apa lagi ini?
            “Apa kau Sofia?”
            Kali ini pun sama. Seorang pria. Tapi lebih kekar. Berjaket hitam, dan memakai topi. Kaca mata hitam di saku bajunya. Juga celana jeans, arloji di tangan kanan, dengan sepatu kets abu-abu yang agak usang. Di lehernya ada luka bakar. Tak begitu terlihat karena jaket yang ia gunakan. Tapi aku yakin, itu luka bakar.
            Tunggu, sepertinya aku pernah membaca deskripsi orang seperti ini. Surat itu!
Target             : Sofia
Umur              : 22 tahun

Pelaku             : Pria
Tinggi             : 178 cm
Berat               : 68 kg
Pakaian          : Topi. Jaket hitam. Baju bersaku di sebelah kanan. Kacamata hitam di                           saku baju. Celana jeans. Sepatu kets abu-abu.
Ciri lain           : Luka bakar di leher.
            Aku terpaku dalam kebingungan. Kenapa semuanya sesuai dengan surat itu. Aku sedikit merasa takut. Apa dia benar-benar akan membunuhku? Lalu, dalam surat itu.
Pukul 13.52
Pelaku datang menayakan Sofia. Pencegahan: jawab kau bukan Sofia.
            “Hmm.. Bukan. Sofia sedang pergi. Aku temannya, kebetulan sedang bermalam di sini.”
            Pria itu mengangguk.
Pukul 13.53
Pelaku meminta menunggu di dalam. Pencegahan: persilahkan dia masuk.
            “Boleh aku menunggunya di dalam?”
            Aku berpikir sejenak. Aku ingat pencegahan itu. Haruskan aku membiarkannya masuk?
            “Ya. Silahkan.”
            Kami masuk menuju ruang tahu. Kupersilahkan dia duduk. Dengan alasan membuatkan minuman, aku pergi ke belakang yang sebenarnya menuju kamarku dan mencari-cari surat itu. Aku taruh di mana surat itu?
Pukul 14.05
Pelaku berpura-pura menanyakan kamar mandi. Pencegahan: Beritahu dan ikuti dia diam-diam.
            Aku baca surat itu dengan seksama. Apa ini sungguhan? Jika iya, apa aku harus mengikuti apa yang ada pada surat ini? Baiklah. Aku hanya perlu memastikanya.
            Aku kembali ke ruang tamu dengan membawa minuman. Kupersilakan dia untuk minum. Lalu, hening. Kulirik jam dinding yang ada di sana. 14.05.
            “Hmm... Kamar mandinya di mana ya?”
            Dia benar-benar menyanyakan kamar mandi! Jadi..
            “Di sana.” Tunjukku ke ruang belakang.
            Kuikuti dia secara diam-diam seperti yang tertulis dalam surat itu. Ternyata pria itu memang tidak ke kamar mandi. Dia hanya melihat-lihat sekeliling sambil mengengok ke setiap kamar. Bahkan dia sampai masuk ke salah satu kamar tanpa permisi. Aku benar-benar terkejut. Ini sesuai dengan apa yang terlulis di surat itu.
            Seketika itu aku ingin menangsis. Apa yang harus kulakukan sekarang? Orang tuaku sedang keluar rumah. Sedangkan aku anak semata wayang dan tak punya pembantu. Tak ada siapa-siapa di rumah ini. Haruskah aku panggil tetangga? Tapi mereka tidak akan percaya kalau ada seorang penjahat di rumahku. Polisi? Aku tak tahu nomornya. Aku benar-benar panik untuk berpikir. Akhirnya kubuka lagi surat itu. Untung tadi aku membawanya.
Pukul 14.11
Pelaku memasuki salah satu kamar. Pencegahan: Kunci dia di kamar itu.
            Apa? Menguncingya? Bagaimana kalau dia melihatku dan tiba-tiba menyerang?
            Aku kuatkan diri. Dengan perlahan, aku berjalan menuju kamar yang di masuki pria itu. Pintunya sedikit terbuka. Sialnya, kunci ada di bagian dalam kamar! Dengan terpaksa aku harus mengambilnya. Kulirik pria itu dari sela pintu kamar. Dia sedang mencari-cari sesuatu dengan hati-hati. Perlahan-lahan aku julurkan tangan, menggapai kunci pintu kamar itu. Dan..
            Akhirnya aku mendapatkannya. Dengan perlahan-lahan pula aku tutup pintu kamar itu. Napasku kutahan demi tidak disadari oleh pria itu. Sedikit lagi tertutup. Tapi, tetap saja itu menimbulkan suara. Pria itu menoleh. Menyadari ada seseorang di balik pintu kamar. 
            “Hei, siapa itu?”
            Aku panik. Tergesa aku kuncikan kamar sementara pria itu sudah menggedor-gedor meminta pintu dibuka. Setelah berhasil terkunci. Aku baca kembali surat itu.
Pukul 14.14
Pelaku terkunci di kamar. Peringatan: Lari dari sana! Sembunyi!
            Lari?!
            Door.. Doorr!!
            Aku menjerit mendengar suara itu. Itu suara pistol! Pria itu mencoba membuka pintu dengan pistolnya. Aku lari sekuat tenaga. Tapi harus sembunyi di mana?
Sembunyi di gudang. Jangan bersuara.
            Kini aku di gudang. Pria itu bisa dengan cepat keluar dari kamar itu. Dia mencariku. Benar. Dia mencariku. Sesekali dia memanggil namaku. Membujuk agar aku mau keluar. Dia bilang, tidak akan melukaiku. Mana mungkin aku percaya setelah mendengar suara pistol tadi.
            Kembali kubaca surat itu dengan napas yang memburu.

Pukul 14.15
Kau di gudang. Pencegahan terakhir: Gunakan tongkat kayu di sebelah kirimu. Pukul Pelaku saat dia lengah.
            Memang benar ada tongkat kayu di sebelah kiriku. Tapi bagaimana aku bisa memukul pria bersenjata?
            Kuberanikan diri sekali lagi. Surat itu mengatakan pencegahan terakhir ‘kan? Berarti ini akan segera berakhir. Entah aku mati atau tidak, ini akan segera berakhir. 
            Aku melangkah keluar dengan tongkat kayu di tangan. Pria itu tampak masih mencariku. Tanganku gemetar saat melihat pistol yang dibawanya. Dia belum menyadari keberadaanku yang berada tepat di belakangnya meski cukup jauh. Aku dekati perlahan saat dia sedang lengah. Selangkah.. Dua langkah.. Tiga..
            Tiba-tiba dia berbalik!
            Dengan cepat aku berlari kearahnya. Pistol itu dia kokang, tertuju ke arahku. Ya, kearahku! Tapi belum sempat dia menembakkannya, pukulanku lebih dulu mendarat tepat di kepalanya. Dia roboh. Namun masih sadar. Sekali lagi aku layangkan pukulan itu. Dan dua kali, ke tubuh besarnya. Hingga akhirnya dia benar-benar tak sadarkan diri.
            Tubuhku lemas. Kakiku lemas. Aku terduduk, tak bisa bergerak lagi. Tak lama kemudian, orang-orang berdatangan menanyakan apa yang terjadi. Aku juga heran, mengapa mereka baru kemari setelah mendengar suara letusan pistol itu? Tapi dari pada menjelaskan pada mereka, aku lebih tertarik dengan surat itu. Surat itu masih berada di sakuku. Kali ini kubuka dan kubaca dengan perasaan lega.
Pukul 14.20
Pelaku dapat dilumpuhkan. Pembunuhan digagalkan.
Terimakasih telah menerima surat dari kami.

Tertanda,
Dirimu
Sofia.
            Surat ini dari diriku sendiri?


Selesai

Dunia ini terlalu sederhana tanpa fantasi. Hal terbaik dari fantasi adalah
Hanya kita yang tahu apa yang kita fantasikan.

Pernah menjadi cerpen terbaik menurut salah satu penerbit indie

Komentar

  1. Sederhana, tapi ceritanya bagus, sedikit typo tapi tdk terlalu penting. Good story Nisa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mampir dan berkenan membaca. 😁

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEWI ARUM SARI

BAHASA INDONESIA KELAS X MATERI DEBAT

Guru Bukan Dewa, Tapi Juga Bukan Sembarang Manusia