Paman Teddy Bear

            Pria itu terus berlari. Dengan kostum boneka beruang yang ia pakai, membuatnya cukup menarik perhatian orang-orang. Tapi dia tidak peduli. Dia terus berlari. Mengejar waktu, atau dikejar waktu? Ditangannya ada bingkisan kecil terbungkus rapi. Dia pegangi, seakan itu benda berharga yang akan dilindungiya sampai mati. Tak peduli panasnya hari, terlebih dengan kostum tebal itu.
            Dia masuk kehalaman sebuah rumah yang cukup luas. Ada pesta disana. Dengan balon dan hiasan lainnya. Tawa-tawa kecil terdengar. Disuatu sudut, dia terpaku. Memandangi gadis kecil yang menggunakan kursi roda dengan pakaian putri nan cantik. Pesta ulang tahun ini sungguh membuat gadis kecil itu bahagia. Sejenak, gadis kecil itu melupakan kekurangannya. Ditambah sang ibu yang dengan setia menemani. Tersenyum, meladeni setiap ocehan gadis kecilnya.
            Pria itu masih terpaku. Kemudian dia tersadar. Mendekati gadis kecil dan sang ibu.
            “Waahh.. Paman Teddy Bear..!” Seru sang gadis kecil. Membuat teman-temannya mengerubuni sosok Teddy Bear yang lucu. Teddy Baer tetap mendekati gadis kecil itu. Tak memperdulikan yang lain. Hanya sang gadis! Sambil bergaya lucu, ia membuat gadis kecil kecil itu tertawa lepas. Sang ibu agak terkejut. Tapi tak lama. Dia ikut tersenyum menyaksikan anaknya yang ceria. Sepertinya dia mengetahui siapa yang ada dalam kostum itu. Paman Teddy Bear memberikan bingkisan yang sedari tadi ia pegang. Dengan tersenyum, gadis kecil itu berterima kasih.
            “Aku senang sekali paman Teddy Bear datang ke pesta ulang tahunku. Ternyata, do’aku terkabul. Coba kalau ayah juga ada. Pasti akan semakin menyenangkan. Tapi, ayah tidak bisa datang.” Gadis kecil itu terlihat sedih. Paman Teddy Bear  menjadi salah tingkah. Tak tahu apa yang harus dia lakukan. Tapi kemudian dia  menyentuh lembut wajah gadis kecil itu, mengajaknya untuk ceria lagi. Tak butuh beberapa lama, sang gadis kecil pun ceria kembali.
 Teman-teman sang gadis kecil semakin mengerubuni mereka berdua. Terpaksa dia_ pria berkostum Teddy Bear itu_ melayani mereka semua. Sementara sang ibu, melihatnya dengan senyuman yang tak pernah lepas.
. . .
“Mas?”.. Panggil ibu gadis kecil itu. Mengajaknya berbicara. Akhirnya mereka berdua duduk bersama di tempat yang cukup jauh dari anak-anak tadi. Sementara gadis kecil dan teman-temannya tengah sibuk dengan hadiahnya.
“Kenapa tidak dibuka saja topengnya? Apa tidak panas?”
Pria itu meggeleng.
“Tapi, kenapa mas Adi ada di sini? Aku kira mas pulang minggu depan. Apa urusan di Singapur sudah selesai?” Tanya wanita itu, yang tak lain adalah istrinya.
Pria itu hanya mengangguk.
“Lalu, kenapa mas tidak bilang pada Diana kalau ini mas? Kalau Diana tahu paman Teddy Bear itu ayahnya sendiri, dia pasti akan lebih senang. Selama ini dia selalu ingin paman Teddy Bear datang ke ulang tahunnya. Bahkan dia menulisnya di buku harian. Mas tahu ‘kan?”
“Aku tahu..
“Lalu kenapa tidak bilang?”
“Biarkan saja seperti ini. Aku.. Bukan ayah yang baik. Aku malu membuka toperngku.”
“Kenapa mas bicara seperti itu?”
“Aku tidak pernah membuat putriku bahagia. Aku hanya sibuk dengan pekerjaanku saja. Jika aku diberi kesempatan kedua, aku akan memperbaiki semuanya. Menjadi ayah baik, dan menjadi suami yang layak untukmu. Tapi, ya sudahlah.. Ini pun sudah cukup. Aku bisa melihat kalian, untuk terakhir kali.” Lirih, pria itu mengungkapkan penyesalannya. Ada kesedihan di tiap kata-katanya itu. Entah tak mendengar, atau ingin memperjelas apa yang diucapkan suaminya, wanita itu bertanya,
“Apa mas?”
Pria itu menggenggam erat tangan istrinya. Lalu berkata,
“Maaf.. Aku harus pergi. Jaga Diana kita..” Setelah itu dia pergi, meninggalkan istrinya yang memandangi dengan sejuta kebingungan. Jika Diana_sang gadis kecil_tak menghampiri, mungkin wanita itu akan tetap terpaku. Memikirkan apa yang baru saja dikatakan pria itu
“Ibu.. Mana paman Teddy Bear nya?”
. . .
Hari semakin larut. Rumah yang luas, terasa sempit bagi wanita itu. Bagi seorang istri yang menunggu suaminya. Ya. Menunggu pria itu. Entah mengapa, apa yang dikatakan sang suami begitu membekas. Sesekali ia lirik ponselnya. Berharap ada panggilan atau sekedar pesan dari orang yang sangat dicintainya itu. Tapi tak ada! Ia semakin cemas. Apa yang terjadi?
 Diana dengan ceria menghambur kearah ibunya sambil membawa hadiah pemberian paman Teddy Bear. Dia tunjukkan hadiahnya itu. Ternyata isinya adalah foto keluarga mereka dengan bingai yang cantik. Sang ibu tersenyum sambil memandangi foto itu. Ia kembali mengingat...
 Dulu keluarga ini begitu bahagia. Diana yang lincah, berlari kesana kemari. Sesekali ia merajuk meminta digendong oleh ayahnya. Sang ayah pun dengan senang hati memangku gadis kecil itu. Menciuminya dengan sayang, sampai sang ibu merasa cemburu. Hanya ada tawa yang mengiringi mereka. Hingga suatu saat semua itu berubah. Ayah yang sibuk dengan berbagai pekerjaan tak pernah hadir di sisi anaknya yang sakit. Dengan alasan mengumpulkan uang untuk pengobatan Diana, dia rela kehilangan waktu yang begitu berharga dengan keluarga kecilnya. Tapi setelah uang terkumpul, apakah dia kembali memperhatikan anak dan istinya? Sepertinya tidak. Karena kini, tampak sang istri ini memandangi foto itu dengan penuh kerinduan. Seakan saat- saat itu tak akan kembali.
Dilihatnya lagi foto itu, hingga ia menyadari ada secarik kertas terselip di bingkai foto. Sebuah surat. Terlulis, untuk Diana putri ayah yang baik. 
Diana putri ayah yang baik...
Maaf, ayah tidak ada di pesta ulang tahunmu hari ini. Tapi ayah kirimkan paman Teddy Bear untuk menemanimu. Kau senang ‘kan?
Maaf, ayah tidak pernah menemanimu selama ini. Tidak menjemputmu pulang sekolah, tidak menghadiri pementasanmu, tidak datang ke acara orang tua disaat teman-temanmu yang lain membawa orang tua mereka, tidak menemanimu tidur, tidak membacakan buku cerita, tidak mengajakmu bermain, tidak menemani belajar, bahkan tidak menemanimu di rumah sakit saat kau membutuhkan ayah.
Maaf.. Ayah benar-benar minta maaf. Karena untuk seterusnya pun, ayah tidak bisa menemanimu. Tidak bisa melihatmu tumbuh menjadi gadis manis secantik ibumu. Jaga terus ibumu. Jangan membuatnya menangis. Tetaplah menjadi putri ayah dan ibu yang baik dan cantik. Ayah sangat mencintaimu.
“Ibu, itu apa?”
Suara ceria Diana menyadarkan sang ibu yang terisak. Sang ibu hanya membelai lembut wajah putri kecilnya. Tak tahu harus bagaimana. Ia sendiri bingung, apa yang terjadi? Kenapa surat itu terdengar begitu menyedihkan? Kemudian, perhatiannya beralih pada acara televisi yang memberitakan kecelakaan pesawat. Tertulis di daftar korban meninggal, Adi Pratama Kusuma_suaminya.

Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEWI ARUM SARI

BAHASA INDONESIA KELAS X MATERI DEBAT

Guru Bukan Dewa, Tapi Juga Bukan Sembarang Manusia