Tanya Si Kecil


            Tujuh. Delapan. Tujuh lagi. Bahkan enam dan lima. Tak ada nilai yang memuaskan dari hasil ulangan harian murid-muridku. Apakah biologi sesulit itu? Atau, aku yang tak pandai mengajari?
Bolpoin di tanganku menari dengan lincah. Aku masih dengan sabar memeriksa pekerjaan murid-muridku, kelas sepuluh. Sesekali aku terkekeh melihat jawaban mereka yang unik, aneh dan tak terduga. Ada yang dengan jujur menulis  ‘Maaf bu, saya nggak paham’. Mungkin, dia tidak masuk saat materi itu, pikirku. Ada juga yang bercerita, ‘Ibu, saya itu kalau malam nggak bisa tidur. Jadi waktu sekolah pagi, saya ngantuk. Makanya tidak memperhatikan ibu karena saya tidur di kelas.’
Hmmm.. Ada-ada saja. Meski mereka jujur, tetap saja aku harus memberi nilai yang sesuai dengan pekerjaan mereka. Kutorehkan nilai ‘nol’ besar dengan pesan, ‘Tidak ada alasan untuk tidak belajar meski mengantuk!’. Apa aku terlalu kejam? Mungkin benar. Tapi inilah caraku mengajari dan mendidik murid-muridku.
Langkah kecil terdengar dari arah ruang tamu. Beberapa detik kemudian, wajah manis muncul di balik pintu kamarku. Diikuti dengan senyum khas yang sangat ku kenal. Adi, putra kecilku. Dia masih enam tahun. Selalu bertanya, apapun itu. Walaupun itu bukan pertannyaan penting. Kali ini, apalagi yang akan ditanyakannya?
“Ibu, kalau pohon makannya apa?” tanyanya sambil tersenyum manja.
Ternayata tentang biologi. Syukurlah bukan pertanyaan yang aneh tentang alien atau lainnya. Hanya tentang tumbuh-tumbuhan. Apa sulitnya?
“Pohon ya makannya zat hara, sayang” jawabku tanpa menoleh. Berharap pertanyaannya tak berlanjut. Tapi sepertinya itu sia-sia.
“Zat hara itu belinya dimana, bu?”
            Beli?
            Kuhentikan sejenak aktifitasku mengoreksi. Memandangi putra semata wayangku yang penuh rasa ingin tahu. Dari mana ia mendapatkan pertanyaan seperti itu? Kreatif. Walau aku merasa enggan menjawabnya karena pekerjaan yang menumpuk ini.
            “Nggak beli. Tapi menghisapnya dari dalam tanah.”
            Kujawab sesederhana mungkin. Entah dia mengerti atau tidak. Tapi kurasa dia mengerti. Melihatnya mengangguk-anggukkan kepala dengan yakin, aku pun kembali berkutat dengan lembaran-lembaran di hadapanku.
            “Kalau pohon makan nasi bisa enggak, bu?”
            Pertanyaan apa lagi ini?  Lebih kreatif? Atau konyol? Aku mulai merasa kesal karena pekerjaanku belum juga rampung dan putraku terus saja memberikan pertanyaan aneh.
            “Nggak bisa dong, Adi. Masa pohon makan nasi? Udah, tidur sana! Nanti besok kesiangan.’
            “Tapi kalau tanahnya abis, nanti pohon makan apa?”
            Ternyata anakku ini belum menyerah. Aku mengenal sifatnya. Sama persis dengan sifat suamiku yang keras kelapa. Jika ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, dia akan terus mencari apa yang salah. Tanpa mengenal waktu dan kondisi. Apa itu baik? Mungkin. Terkadang, aku merasa kagum akan sifat pantang menyerahnya itu. Di sisi lain, sifat itu membuatku terganggu. Karena dengan melihatnya begitu bekerja keras terhadap segala sesuatu, sementara aku tidak,  membuatku tampak sangat buruk. Aku, yang selalu menerima apa adanya_bahkan terlalu apa adanya, terlihat begitu malas dan tak bersemangat menjalani kehidupan ini. Sedangkan dia, suamiku, dengan semangat membara terus mencari tahu. Terus bekerja keras, tanpa merasa lelah. Mungkin itu juga yang membuatku tertarik padanya. Untuk memperbaiki diri? Entahlah.
            Kurapikan semua perlengkapan kerjaku. Juga kertas-kertas jawaban yang sedari tadi kuperikasa. Dengan lebih sabar, kujawab pertanyaan anakku yang banyak ingin tahu ini.
            “Tanah memang tinggal sedikit, sayang. Itu sebabnya, kita harus menjaganya agar tidak habis. Bukan menggantinya dengan yang lain. Walaupun bisa diganti, tapi tidak akan sebagus saat pohon-pohon itu  mengambil makanan dari tanah.”
            “Oh.. terus, gimana menjaganya, bu?”
            “Ya.. Dengan tidak mengambil seenaknya. Juga, kita harus menjaga kesuburan tanah dengan terus menanaminya dengan tanaman dan memberikan pupuk. Karena walaupun tanah banyak, kalau tidak subur, itu percuma saja. Mengerti?”
            “Iya.. Adi mengerti, bu.”
            Senyum puasku mengembang mendengar jawaban si kecil. Penjelasan yang sempurna, gunamku dalam hati. Tapi kenyatannya sangat sulit menjalankan itu, bukan? Diiringi langkah kecil anakku yang mulai meninggalkan kamar, pikiranku mengembara. Mengingat kembali, apa yang sudah aku kulakukan sebagai seorang guru biologi.
 Memberikan materi? Sudah. Terperinci, detail dan lengkap. Tapi mengapa hasil ulangan harian murid-muridku tetap tidak memuaskan? Apa yang salah? Lalu, apakah tugas guru biologi hanya sebatas memberikan materi? Tidak. Mungkin, itulah yang selama ini tidak kulakukan. Memberikan contoh pada murid-muridku bagaimana mencintai alam, menjaga dan memeliharanya.
            Selama ini aku hanya terfokus pada nilai yang bagus. Berpikir bahwa mempelajari teori itu yang paling penting. Tanpa adanya praktik dan sebagainya. Jarang aku memberikan tugas penelitian. Hanya soal-soal memuakkah yang aku jejali pada mereka. Itukah yang membuat mereka jenuh hingga menjawab soal sekenanya? Sepertinya begitu. Padahal, bukankah tugas seorang guru biologi untuk menumbuhkan kesadaran muridnya terhadap alam ini? Agar lebih mencintainya dan menghargainya. Jika bukan guru biologi, lalu siapa lagi? Jadi apakah itu berarti, aku bukan guru biologi yang baik?
           
***

            Enam tiga puluh. Aku tiba di sekolah tempatku mengajar. Sekolah mewah dengan fasilitas memadai. Laboratorium, ruang seni, semua tersedia. Begitu juga perpustakaan dengan jaringan wifi. Tidakkah itu sungguh memanjakan? Benar. Namun, lihatlah halaman depannya. Pemandangan hijau hampir tidak ada. Hanya sampah plastik sisa jajanan cilok dan lainnya. Juga motor-motor yang terpajang dengan gagah di sana sini. Walaupun ada tanaman, hanya rumput liar yang siap tereksekusi panasnya hari. Miris! Di sekolah sebesar ini, semewah ini, pemandangan indah menyejukkan mata sungguh tidak ada!
            Ini memang salahku. Kekurangaku sebagai guru biologi. Jika saja aku lebih aktif, lebih kreatif dalam memulai, bisa saja halaman gersang ini menjadi taman hijau dipenuhi bunga-bunga cantik. Piriranku yang tidak ingin repot, mencegahku dari sesuatu yang seharusnya kulakukan. Aku tidak boleh terus seperti ini. Tidakkah aku malu pada anakku, si kecil yang telah mengingatkanku? Kutekadkan hati, kuteguhkan diri. Mulai saat ini aku harus memulai. Saat ini. Dari diriku sendiri.

***

            “Ibu Nia sedang apa?”
            “Iya.. Ngapain ya?”
            “Berkebun tuh..”
            Beberapa suara terdegar. Merasa aneh dengan apa yang kulakukan. Kuabaikan saja mereka, dan terus menyiangi rumput-rumput ini. Hmmm.. Tanah di halaman ini sedikit gersang. Kutaburi pupuk, kusiram dengan air, lalu mulai menanam. Bunga asoka. Tidak terlalu sulit menanamnya.
Seorang siswi menghampiriku. Menyapaku dengan ramah.  
            “Ibu,  biar saya bantu.”
            Satu anak tergerak. Awal yang bagus. Bukankah begitu?
            “Boleh. Terimakasih ya..”
            Lalu datang dua anak. Juga bermaksud membantu. Begitu seterusnya hingga banyak yang membantu. Bahkan Pak Tono sang guru matematika pun ikut membantu. Inilah yang harusnya kulakukan sejak dulu. Mengajak anak muridku lebih peduli dan cinta alam sekitar. Sambil menaman, kujelaskan tentang bunga yang kami tanam.
            “Ini bunga bugenville atau bunga kertas. Ada yang tahu jenis tanaman apa ini?”
            “Hmmm... Tanaman hidup, bu..” celetuk salah satu siswa diiringi riuh tawa yang lain. Aku pun geli mendengarnya. Ada-ada saja.
            “Ya iyalah tanaman hidup. Kalau udah mati, dibungkus kain kafan. Ha..ha” temannya menimpali. Tawa mereka semakin semarak. Mendinginkan suasana di hari yang mulai panas ini.
            “Saya tahu, bu. Tanaman dikotil.” jawab siswi yang pertama kali membantuku menanam.
            “Memang apa ciri-cirinya?” tantangku.
            “Hmm.. Karena batangnya keras dan bercabang, terus akarnya bukan akar serabut.” Meski ragu, namun jawabannya benar.
            “Bagus!”
***

Semua bunga pun tertanam dengan indah di pinggiran halaman sekolah ini. Hari pertama sungguh memelahkan. Kupandangi muridku satu persatu. Melihat peluh di sekujur tubuh mereka. Padahal, matahari belum terlalu menyengat. Aku merasa bangga. Pada mereka, pada si kecil Adi, juga diriku sendiri. Rasanya belum pernah aku merasa sebangga ini. Akhirnya aku sadar, memulai sesuatu dari diri sendiri itulah yang terbaik. Tanpa perlu berorasi untuk menyuruh orang lain. Contoh nyata akan menggerakkan hati sehingga orang lain pun akan mengikuti. Inilah buktinya. Tanpa disuruh, murid-muridku datang sendiri  untuk membantu.
Dan setelah kupikirkan lagi, kesadaran mencintai alam, bukan hanya guru biologi yang mengajarkannya.  Siapa pun bisa. Bahkan harus! Seperti Pak Tono. Walaupun dia guru matematika, tapi dia tidak hanya mengajarkan hitung menghitung. Dia juga ikut memberi contoh bahwa manusia harus menjaga alam. Karena manusia, siapa pun itu, tidak mungkin terlepas dari alam. Baik atau buruk dampak yang diberikan oleh alam, itu tergantung pada cara mausia memperlakukannya. Bukankah begitu? :D

Selesai
           
           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEWI ARUM SARI

BAHASA INDONESIA KELAS X MATERI DEBAT

Guru Bukan Dewa, Tapi Juga Bukan Sembarang Manusia