JURANG PEMISAH


Orang berkata kami ini kembar. Hah! Ada-ada saja. Bagaimana bisa kami menjadi kembar di saat perbedaan itu begitu tampak dari perangai kami? Hanya wajah kami yang serupa. Selain itu, jauh berbeda! Ya, memang ada sedikit kesamaan. Jika dia sedih, aku juga sedih. Jika dia sakit, aku juga sakit. Jika dia bahagia, aku turut bersuka. Hanya sekedar merasa. Sesudah itu, hilang begitu saja. Tapi, itu juga yang membuatku muak. Karena saat aku membencinya, bukankah dia juga membenciku? Dan saat ini, aku sangat membencinya!
Ya, benar. Aku begitu berbeda dengannya. Bagai dua sisi koin yang berlainan. Aku si buruk, sedangkan dia begitu indah. Aku si murung, sedangkan dia penuh riang tawa. Aku yang kelam, sedangkan dia bersinar terang. Aku yang tak berarti, sedangkan dia memiliki banyak arti. Di kehidupan kami, aku dan dia tepisahkan oleh dua buah nama, Maya dan Santi.
Di antara kami ada sebuah jarak pemisah. Sampai saat ini pun, jarak itu masih terbentang. Dari dulu memang seperti ini. Tak berubah, tak berganti. Namun, justru jarak itulah yang membuatku merasa nyaman mengakui dia sebagai kembaranku. Dengan jarak itu, aku bisa bebas berkutat dengan segala pikiranku, tanpa dia bisa berbantah-bantah merusaknya.
Jarak itu kini semakin lebar, hingga menjadi sebuah jurang yang cukup dalam untuk dilewati. Aku nyaman dengan dalamnya jurang itu. Karena aku tahu, dia tak mungkin sampai ke sini dan menyentuhku. Menyentuh rasaku, menyentuh hatiku. Tak mungkin! Karena sekali dia lewati, dia akan terjatuh dan mati.
Hingga pada satu titik, dia mulai mengusikku. Seakan dia sedang berusaha menimbun berton-ton pasir harapan untuk menutupi jurang yang ada diantara kami. Dia memanggilku. Dia memanggilku hari itu.
“Maya, bisa kita bicara sebentar?”
  Kubalikkan badan, memandanginya. Itu wajahku. Ya, itu wajahku. Dengan senyum yang selalu aku benci namun selalu kuinginkan.
“Apa.. kau marah padaku?”
Marah? Tidak! Aku hanya sekedar membencimu!
“Kenapa? Apa aku berbuat salah?”
Tak ada salah. Kau tak memiliki celah. Satu pun! Itulah kesalahanmu!
“Jika iya, aku minta maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu.”
Ha..ha.. Ayolah. Kau tak  punya salah. Untuk apa meminta maaf. Aku yang jahat. Aku yang pici! Kenapa kau meminta maaf? Ingin membuatku merasa lebih buruk lagi, hah?!
“Aku hanya merasa..kita tidak begitu dekat belakangan ini. Padahal, kita saudara ‘kan?”
Hei, memangnya kapan kita pernah dekat? Tidak pernah ‘kan? Kau tahu kenapa kita tidak dekat? Kau tahu kenapa!
“Apa kamu tidak nyaman tinggal di sini?”
Karena kau selalu merasa bahagia, selalu tertawa, selalu ceria. Itu membuatku tampak sangat menyedihkan...
“Katakan saja. Apa kamarnya kurang luas? Atau, kau ingin baju-baju baru?”
Karena apa yang telah kau dapatkan tak mungkin bisa  kudapatkan...
“Kau hanya perlu bilang saja. Ayah dan bunda pasti akan membelikannya untukmu.”
Karena orang tua kita lebih memilihmu dibandingkan aku, dan membuangku begitu saja...
“Kau tahu ‘kan? Ayah dan bunda, senang sekali saat bisa menemukanmu. Mereka pasti akan menuruti semua keinginanmu.”
 Karena setelahnya mereka menyesal dan mengambilku kembali dari tempat menyedihkan itu seakan aku barang yang masih berguna. Lalu membersihkanku dengan air mata buaya mereka, sambil mereka meminta maaf, dan lain dan lainya...
“Aku juga sangat senang akhirnya kita bisa bersama seperti ini. Walaupun kita baru beberapa bulan tinggal bersama, kita masih bisa mendekatkan hubungan kita ‘kan?  Kita bisa berbagi cerita, pergi ke mall bersama, nonton film bersama. Ah! Kamu bisa meminjam  komik koleksiku.”
Karena pada akhirnya mereka menyandingkanku denganmu yang tampak selalu bersinar, seolah selalu mengejekku yang keruh dan menjijikan ini...
“Atau, kamu mau aku kenalkan dengan seseorang yang aku sukai? Dia tampan dan ramah.”
Karena aku sesungguhnya ingin sepertimu, tanpa tahu harus berbuat apa. Karena sesungguhnya aku iri, aku cemburu, dengan segala yang ada pada dirimu!
“Maya, kita ini saudara kembar, ‘kan?”
 Karena wajahmu sama dengan wajahku. Karena.. karena aku membencimu, pasti kau juga membenciku!
“Aku tidak pernah membencimu!”
Aku terhenyak. Air mataku menetes. Berderai di kedua pipiku yang kering. Deratan kata yang ingin kuucapkan itu hanya sampai pada derasnya air mataku tanpa bisa kuungkapkan. Hanya hening bercampur isakan kecil yang terdengar. Isakanku, juga isakannya.
Ya. Santi pun menitikan air mata. Tapi dia tampak terheran dengan dirinya sendiri, dengan air mata yang menetes di pipinya. Dia seperti bingung dengan apa yang terjadi. Detik berikutnya dia seakan menyadari sesuatu. Perlahan dia usap air matanya sendiri. Lalu menatapku, menatapku lama sekali. Setelah itu senyumanya terbit. Senyum yang selalu aku ingikan untuk memilikinya meskipun aku sangat membencinya. Senyuman yang terlihat begitu indah dan membuatku terpana. Hal yang membuatku merasa heran, mengapa aku tak merasa kesal seperti biasanya saat melihat senyuman itu?
Dia mendekatiku dengan langkah anggunnya. Mencoba menyentuhku. Jarak itu, jurang itu, dia melewatinya. Bukan dengan berton-ton pasir harapan yang dia tebarkan ke dalam jurang agar tertutupi. Tapi dengan mengalirkan air mata cinta yang dia miliki, lantas kemudian dia terjun menyelam ke dalamnya untuk dapat menyebrangi jurang itu. Akhirnya dapat menyentuhku,  rasaku, hatiku dan meraihku ke dalam pelukannya.
Isakannya semakin terdengar. Air matanya pun kian menggenang. Menenggelamkan aku dalam perasaan yang tak menentu. Parau suaranya terdengar di sela isakan tangis itu.
“Maaf, karena aku baru mengerti. Maafkan aku, karena terlalu lama bagiku untuk mengerti.”

 Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DEWI ARUM SARI

BAHASA INDONESIA KELAS X MATERI DEBAT

Guru Bukan Dewa, Tapi Juga Bukan Sembarang Manusia