PENTAS MIMPI
Mataku terasa berat saat membaca
buku di hadapanku. Rasa lelah sehabis latihan di sanggar tadi memang tak bisa
dihilangkan hanya dengan duduk-duduk saja. Aku pun menyerah pada kantuk yang
tak tertahankan ini. Kututup buku pelajaran yang kubaca. Kemudian aku menuju
kasur setelah sebelumya mematikan lampu kamarku. Dalam sepinya malam aku pun
terlelap.
Tiba-tiba, cahaya menyilaukan
memburu kedua mataku, membuat tangan kananku terangkat demi menghalangi
cahaya itu. Perlahan kuturunkan tangan
dan mencoba membiasakan mataku terhadap suasana di sekitar. Suasana aneh yang
baru kali ini aku rasakan. Cahaya itu seketika menghilang. Berganti dengan
suasana redup. Meskipun begitu, samar-samar aku dapat melihat puluhan kepala
menghadap kepadaku. Mereka duduk berjajar dengan tenang tanpa sedikit pun suara
terdengar bahkan jika itu suara desahan napas. Begitu hening dan damai. Tidak
begitu jelas apakah orang-orang itu melihatku atau tidak. Hanya saja aku merasa
bahwa mata-mata mereka terus tertuju ke arahku tanpa sedikitpun keinginan untuk
berpaling. Memperhatikan setiap gerak-gerik yang kulakukan dengan penuh rasa
ingin tahu. Sejenak, kutanyakan pada diriku sendiri, aku ada di mana?
Entah mengapa tempat duduk
orang-orang itu jauh lebih rendah dari lantai yang kupijak. Juga ada jarak yang
cukup jauh antara aku dan mereka. Lantai tempatku berdiri ini bukanlah lantai
keramik yang biasanya. Warnanya hitam. Terasa dingin menyentuh telapak kakiku.
Juga seperti ada pasir ditebar di atasnya yang membuat kakiku terasa sedikit
gatal. Dedaunan kering berserakan di sepanjang lantai dan ada beberapa benda
yang aku tidak tahu apa kegunaannya. Jika dilihat, lantai yang lebih tinggi ini
tampak seperti panggung pertunjukan dengan aku sebagai aktornya. Aktor yang
kebingungan dan melihat kesana-kemari sambil menggaruk-garukkan kelapa yang tak
gatal. Mereka yang memperhatikanku pasti menganggap bahwa akting bingungku
sangatlah luar biasa. Aku tenangkan diri ini. Setelah merasa tenang, mataku
kembali mengamati tempatku berada. Kali ini, dengan lebih cermat.
Tampak di sekeliling ruangan,
dinding yang terlapisi kain hitam. Mungkin itu yang membuat di sini redup.
Atapnya pun gelap, tak ada cahaya sedikitpun. Cahaya hanya keluar dari lampu
sorot di sudut ruangan, tepatnya di kiri dan kanan lantai yang seperti panggung
ini. Ada pula lampu tepat di atas panggung dengan ukuran yang lebih kecil.
Semua lampu-lampu itu menyorot kearah panggung tempatku berdiri membuat wajah
bingungku terlihat jelas jika di lihat dari bangku penonton.
Aku beralih melihat ke belakang.
Benda-benda di panggung yang awalnya tidak kuketahui kegunaannya ternyata
adalah properti pertunjukan ini. Ada gambar pohon-pohon dengan sungai yang
mengalir indah dari atas gunung sebagai latar belakang. Dedaunan dan pasir di
atas lantai serta sebuah gubuk yang tidak terlalu besar di samping kananku
semakin memperkuat suasana pedesaan yang ditampilkan panggung ini. Aku pun
berpikir, pentas apa yang akan ditampilkan dengan setting seperti ini? Dan coba lihat, ternyata aku sedari tadi
memakai baju kebaya merah sederhana lengkap dengan sarung dan sanggulnya.
Sebuah bakul kayu berisikan pakaian berada di gendonganku. Sejak kapan aku
mengenakan semua ini?
Dua orang naik ke atas panggung dari
arah samping. Mereka juga mengenakan kebaya. Namun kebaya mereka jauh lebih
mewah dari kebaya yang aku pakai. Sanggul mereka pun jauh lebih cantik dan
rapi. Sedangkan aku, tampak kusut dan berantakan. Mereka menuju ke arahku.
Ekspresi mereka penuh kebencian. Aku ketakutan.
“Bawang merah! Kenapa kamu belum nyuci juga? Kamu itu lelet banget, ya?” gadis berkebaya putih
bersuara. Di akhir kalimat, dia mendorongku sampai aku terjatuh sehingga bakul
yang kubawa memuntahkan isinya. Wanita yang bersamanya tiba-tiba menjewer kupingku. Aku berteriak kesakitan.
“Dengar ya, bawang merah. Kalau kamu
tidak cepat-cepat menyelesaikan cucian ini, kamu tidak akan saya beri makan.
Mengerti kamu?”
Aku mengangguk. Tak mau kuping
malangku ini terlalu lama dijewernya. Setelah puas, mereka beranjak pergi
dengan angkuh. Tawa mengerikan terdengar menyelimuti seisi panggung. Sedangkan
aku masih terpaku dengan rasa kebingungan yang semakin menjadi. Aku adalah
bawang merah? Tetapi, mengapa aku yang disiksa? Ini sungguh aneh. Sudahlah! Aku
abaikan saja rasa heran ini. Kemudain, aku bereskan pakian-pakaian kotor yang
berserakan. Dalam hati, aku akan mengikuti alur ganjil ini. Sampai sejauh mana
alur ini akan bermuara, aku pun penasaran karenanya.
Suara langkah kaki terdengar. Aku
menoleh. Seorang lelaki berkumis menghampiriku. Pakaiannya bukan pakaian
tradisonal seperti yang kukenakan. Melainkan pakaian kerajaan luar negeri
dengan renda-renda di kerahnya. Dia membawa sepatu berbahan kaca yang hanya
sebelah. Dengan tergesa dia pakaikan sebelah sepatu itu ke kakiku. Aku terkejut.
“Akhinya aku temukan juga. Setelah
mencari ke seluruh penjuru negeri ini, ternyata Andalah yang selama ini kami
cari” ucap lelaki itu penuh kelegaan.
Belum sempat kubicara, aku sudah
ditariknya. Tetapi, ada sesuatu yang aneh.
Latar panggung ini berubah. Suasana desa tidak ada lagi. Yang terlihat
adalah suasana kamar dengan sebuah kasur berhiaskan kelambu putih di tengah
panggung. Juga lilin-lilin kecil di meja yang berada di samping kasur itu.
Kasur itu tidak kosong. Seseorang terbaring di atasnya. Pria tampan dengan
bibir tipis dan wajah bercahaya. Kewibawaan terpancar dari wajah tampannya itu.
Namun matanya terpejam dan tidak bergerak sama sekali. Kenapa? Tiba-tiba lelaki
yang menarikku terisak. Dengan terbata dia berucap.
“Pangeran, hamba sudah menemukannya.
Gadis bersepatu kaca yang selama ini pangeran cari. Dia adalah bawang merah.
Sekarang, bawang merah, anda harus mencium pangeran agar terbangun dari tidur
panjangnya.”
“Mencuim?!” Aku terkejut
mendengarnya. Tetapi aku sedikit geli. Bukankan ini cerita Cinderella? Lantas,
mengapa dia memanggilku bawang merah? Hal yang lebih mengherankan, mengapa
pangeran tertidur dan menunggu seseorang menciumnya agar terbangun seperti
dalam cerita putri tidur? Rasa heran dan geliku membuahkan senyum tipis di
bibir. Tanpa bisa aku tolak, aku ikuti saja alur yang masih ganjil ini.
Kudekatkan wajahku pada wajah
pengeran tampan ini. Hatiku berdebar-debar dengan kencang menyusul napasku yang tertahan. Apa aku
benar-benar harus menciumnya? Ingin kutarik kembali diri ini, tetapi sulit.
Wajahku kian mendekati bibir tipis itu. Sedikit lagi. Hanya beberapa senti
saja. Namun, tiba-tiba pangeran membuka matanya. Dia terbangun dan menatapku.
Suara merdunya terdengar memanggilku dengan mesra.
“Bawang merah, kaukah itu?”
Aku yang awalnya terkejut,
menganggukkan kepala dengan ragu. Diraihnya tanganku lalu dicuiminya dengan
lembut. Aku terpana merasakan sentuhan itu. Namun detik berikutnya suara
lantang terdengar, memecah kemesraan diantara kami. Kami menoleh ke arah suara
itu. Tampak seorang pria bermuka merah padam karena menahan amarah berjalan ke
arah kami. Dengan pakaian khas panglima perang kerajaan-kerajaan Indonesia
zaman dulu, dia berjalan tegak tanpa keraguan.
“Bawang marah! Mengapa kau bersama
lelaki itu? Aku sudah bersusah payah membuatkan seribu candi sesuai
permintaanmu. Tetapi, engkau malah bermesraan dengan dia?!” tuding lelaki itu
Seribu candi? Apa lagi ini?
Pangeran tak mau kalah. Dengan sama
keras dia membalas perkataan panglima itu. Pada akhirnya mereka berdua
memperebutkanku. Meranik tanganku kearah mereka masing-masing tanpa ada satu
pun yang mau mengalah. Aku kesakitan. Sekuat tenaga kulepaskan tarikkan mereka.
Namun justru aku yang terjatuh dengan keras. Rasa sakitnya membangunkanku dari
mimpi aneh ini.
Kulihat sekelilingku. Pangeran dan
panglima sudah tidak ada. Kasur berkelambu, lilin-lilin kecil di atas meja,
juga para penonton yang terus menatapku, itu semua lenyap seketika. Yang ada
hanyalah pemandangan kamarku yang remang dan sederhana. Saat kusadari, aku
sudah tidak berada di atas kasurku lagi. Melainkan di lantai. Dengan susah
payah aku berusaha bangkit. Kuelus-elus
kepala yang terasa sakit ini. Aku mengeluh dalam hati, mengapa peranku
saat latihan di sanggar sampai terbawa mimpi?
Komentar
Posting Komentar