Guru Bukan Dewa, Tapi Juga Bukan Sembarang Manusia
Sebuah Pemikiran dan Keresahan Hati Seorang Guru Bernama
Khairunnisa Agnia
Pernahkah
kamu membayangkan sosok guru yang sempurna? Dia tidak pernah marah, selalu memahami isi hati siswanya,
mengerti semua pelajaran bahkan di luar bidangnya, sabar laur biasa, dan bisa
menyulap suasana kelas menjadi nyaman setiap saat. Rasanya itu seperti tokoh dalam
film atau novel, ya. Guru yang ideal, menjadi teladan, inspiratif, tanpa cela,
serasa malaikat yang turun ke ruang kelas. Tapi, mari kita kembali ke kenyaan
bahwa guru juga manusia biasa. Dia buka dewa, bukan robot, apalagi karakter
fiksi yang ada di novel atau televisi. Guru juga punya hati, punya masalah
pribadi. Kadang dia merasa capek, kadang khilaf, mungkin banyak mengeluh, dan
tak jarang butuh liburan dari rutinitas sehari-hari.
Saya
juga seorang guru. Setiap hari saya berusaha tampil sebaik mungkin di depan murid.
Tapi jujur, terkadang saya merasa lelah, merasa gagal, bahkan ingin menyerah saja. Kenapa? Karena terkadang ekspektasi terhadap guru itu
terlalu tinggi. Kita dituntut untuk selalu sabar, selalu mengerti, dan selalu
benar. Kita harus menjadi contoh, tidak boleh salah berucap, salah pakai baju,
bahkan salah upload status. Wah!
Rasa iri kadang muncul, melihat
teman-teman dengan profesi lain. Setelah jam kerja mereka bebas mengekspresikan
diri, nongkrong, posting hal-hal nyeleneh di media sosial tanpa takut dicap. Mereka
bisa bebas menjadi sosok yang berbeda saat di luar jam kerja, bahkan bisa
membangun 'identitas kedua' tanpa banyak yang menghakimi.Tapi untuk guru, citra
itu akan selalu menempel dua puluh empat jam. Bahkan di luar sekolah, ketika bertemu murid
di pasar atau melihat mereka menjadi follower media sosial kita, kita tetaplah 'Bu Guru' mereka. Dalam posisi ini, guru bukan hanya profesi, tapi menjadi identitas
utuh yang sulit dipisahkan dari kehidupan pribadi. Sangat berat. kan?
Tapi saya sadar, justru itulah tantangannya. Di situlah maknanya. Menjadi guru bukan hanya soal mengejar kesempurnaan. Menjadi guru adalah bagaimana kita menjalani peran dengan penuh profesionalisme. Profesionalisme itu tidak luput dari yang namanya kode etik, yang dalam hal ini adalah kode etik guru. Waah ternyata profesi guru ada kode etiknya lho, sama seperti profesi lainnya. Nah, sebagai guru, kita harus memahami dan mengamalkan kode etik ini agar bisa disebut sebagai guru profesional. Lalu apa saja ya kode etik itu? Mari kita bahas satu persatu dan kita kaitkan dengan keadaan guru saat ini.
Kode Etik Guru 1: Etika Terhadap Ilmu Pengetahuan
Etika terhadap ilmu pengetahuan
menuntut kita untuk memiliki integritas intelektual. Artinya, kita harus jujur dalam
menyampaikan ilmu, bukan berpura-pura paham padahal aslinya tidak paham dan
akhirnya mengajarkan yang salah kepada siswa. Atau, kasus yang lebih sering terjadi adalah
guru asal meng copy-paste RPP atau modul dari internet tanpa tahu isinya. Saat sissa
bertanya, dia malah balik marah karena tidak bisa menjawab. Padahal, intergritas
keilmuan itu adalah kunci kepercayaan siswa.
Dalam ranah keilmuan, guru juga harus memiliki aspek keberanian moral. Guru harus memiliki pendirian meskipun berbeda pandangan dengan orang tua murid atau kepala sekolah. Asalkan itu tidak bertentangan dengan moral, pendapat guru harus memiliki ruang. Tapi, di lapangan kita masih sering melihat guru yang ‘asal ikut arus’ demi mencari keamanan meskipun dia tahu ada kebijakan yang tidak tepat yang sedang berlangsung. Hal ini disebabkan kuranagnya aspek keberanian moral dalam diri seorang guru.
Kode Etik Guru 2: Etika Terhadap Peserta
Didik
Etika
terhadap peserta didik juga sangatlah penting karena dalam keseharian guru tak
lepas dari mereka. Guru haruslah menjadi teladan dan rujukan bagi siswanya. Selain
itu, guru harus selalu mendahulukan kepentingan siswanya dibanding kepentingan
dirinya sendiri. Sayangnya, masih banyak guru yang tidak mampu bersikap seperti itu. Saya
melihat sendiri di sekitar saya ada guru-guru yang berani merokok di lingkungan
sekolah. Apakah itu teladan yang baik bagi siswa? Tentu tidak. Atau kita lihat ada
kasus di Sulawesi di mana guru menghukum siswanya dengan kekerasan fisik hanya karena
siswa tersebut tidak membawa buku. Di mana letak empati guru itu? Bukankah kita
harus selalu melindungi dan dituntut untuk peka serta memahami latar belakang
sosial murid kita (human insight) sebelum memutuskan sesuatu terhadap
mereka?
Dan yang paling menyedihkan, pernah juga terjadi kasus di
mana seorang guru memberi nilai tinggi kepada siswi dengan imbalan tertentu. Bukan
uang, tapi 'kedekatan pribadi'. Ini jelas mencoreng
martabat profesi dan merupakan pelanggaran berat terhadap tanggung jawab moral
kita sebagai pendidik (the responsibility of influence). Apa yang kita
lakukan hari ini bisa berdampak panjang terhadap cara murid memandang hidup,
nilai, dan kejujuran. Akhirnya, semua pertanggungjawaban
kita akan mempengaruhi kehidupan murid di masa mendatang.
Etika Terhadap Profesi
Lalu, bagaimana interaksi kita dengan rekan sejawat atau
masyarakat secara umum? Sebagai guru, jelas kita juga harus memperhatikan etika
dalam interaksi tersebut. Dengan rekan sejawat maupun masyarakat umum kita
harus semantiasa rendah hati (humility) dan mau terus belajar. Jangan sampai
kita merasa ’paling tahu’ atau ’paling benar’ hanya karena sudah mengajar
belasan tahun dan menjadi guru senior di sekolah. Saya pribadi mendapati beberapa
senior saya yang sangat rendah hati, mau berbagi ilmu bahkan meminta pendapat saya.
Padahal saya tergolong masih guru baru yang pengalaman mengajarnya kalah jauh
dengan beliau. Itu tidak membuat mereka rendah, justru
saya sangat mengagumi senior yang seperti itu. Meskipun ada juga guru yang sangat ’anti kritik’ dan ’baperan’.
Guru
seperti ini yang menghambat dirinya dan guru lainnya untuk berkembang.
Kerja sama juga antar sesama guru atau masyarakat
juga sangat penting. Untuk itu, etika collegiality dan partnership
harus benar-benar diterapakan. Bukankah
menyenangkan kalau kita bisa kerja sama dan saling dukung antar rekan guru? Tapi
faktanya, di beberapa sekolah, justru terdapat persaingan tidak sehat antar guru,
bahkan saling menjatuhkan demi kenaikan pangkat atau tunjangan. Mereka lupa
bahwa sejatinya, kita sedang mendidik anak bangsa bersama-sama.
Hal yang sering saya dapati adalah adanya ‘senioritas’ di
antara kalangan guru sehingga si guru muda harus selalu mengalah untuk sang
senior. Dengan
dalih ‘ibu anu’ sudah senior, dia dibebaskan dari tugas mengawas. Atau karena ‘bapak
itu’ sudah sepuh_ padahal belum pensuin_ dia tidak pernah dilibatkan di kepanituaan atau lomba. Mengapa guru-guru senior ini terkesan lepas tangan dan
membebankan semua tugas kepada guru muda? Padahal, tidak ada salahnya jika bersama-sama
membimbing lomba siswa-siswa, atau mengikuti kegiatan kepanitiaan lainnya. Guru-guru
muda juga pasti memerlukan bantuan dan arahan dari guru-guru senoir yang sudah
lebih berpengalaman dibanding mereka. Di sinilah pentingnya untuk memahami
makna etika collegiality dan partnership dalam interaksi dan
pergaulan sesama guru.
***
Naah setelah memahami kode etik guru, sebagai guru, apa yang bisa kita lakukan setelah ini?
Kita bisa mulai dari diri sendiri. Saya tidak mengklaim
diri saya sebagai guru yang sempurna, Seperti dijelaskan di awal, saya pun banyak kekurangan dan cela. Tapi saya terus belajar dan terus berusaha
memperbaiki diri. Saya percaya, menjadi guru itu bukan soal menjadi sempurna dan bisa semua hal,
tapi mau berproses serta konsisten menjaga nilai. Guru yang baik adalah guru yang
tidak pernah berhenti belajar, bukan hanya tentang mata pelajaran, tapi juga
tentang menjadi manusia yang utuh.
Akhirnya, saya ingin mengajak semua, terutama rekan-rekan
guru di luar sana, mari kita duduk sejenak; menengok kembali kode etik profesi
kita. Pahami kode itu bukan hanya sebagai dokumen formalitas. Tapi sebagai cermin, apakah
kita sudah menenapkan nilai-nilai itu dalam keseharian kita? Atau justru kita menjauh
bahkan bertolak belakang dari nilai-nilai itu? Jika kita masih jauh dari nilai-nilai itu, mari sedikit demi sedikit kita berproses memperbaiki diri. Bukan untuk menjadi guru yang sempurna, tapi untuk sekadar menjadi guru profesional yang beretika. Karena sejatinya guru bukanlah dewa. Tapi, dia bukan juga sembarang manusia. Kita punya tanggung jawab besar,
sekaligus kehormatan yang tak ternilai. Maka jagalah selalu martabat profesi
ini dengan kesadaran dan kesungguhan. Sebab, di tangan guru
yang profesional dan beretikalah masa depan sebuah bangsa berada.
Nama : Feni Triwiharjo
BalasHapusGuru Mapel : Ekonomi
Tulisannya sangat bagus dan reflektif. Bu Nisa berhasil menunjukkan bahwa kode etik bukan hanya sekedar aturan tapi panduan moral hidup dalam praktik sehari-hari guru. Secara keseluruhan tulisannya menginspirasi dan mengajak pembaca, khususnya guru, untuk untuk merenung agar menjadi pendidik yang lebih baik.
Esai ini menunjukkan kepedulian yang besar terhadap nilai-nilai etik dalam profesi guru. Gaya tulisannya terasa tulus dan menggugah, membuat pembaca ikut merenung tentang tanggung jawab moral seorang pendidik. Pemilihan kata dan alur penulisan juga sudah rapi dan enak diikuti.
BalasHapusAkan lebih kuat jika ditambahkan contoh konkret, seperti pengalaman pribadi atau kejadian sehari-hari di kelas yang berkaitan dengan dilema etik. Hal ini bisa membuat pembaca lebih terhubung secara emosional dan melihat langsung bagaimana nilai-nilai itu diterapkan dalam situasi nyata.
Secara keseluruhan, ini adalah tulisan yang hangat dan reflektif. Kamu berhasil menunjukkan bahwa menjadi guru bukan hanya soal mengajar, tapi juga soal menjadi teladan dalam bersikap. Teruskan menulis seperti ini—tulisanmu punya kekuatan untuk menginspirasi rekan sejawat.
_Iskandar, Guru Kimia SMA N 1 Beber
Rudi Hartoni
BalasHapusGuru Sosiologi SMA Negeri 1 Beber
Waah keren Bu Nis. Tulisannya sangat menggugah dan membuat saya tersentil. Semoga kita semua bisa mengikuti pedoman kode etik guru ya. 👍🏻
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus